Seringkali pertanyaan beberapa teman di kampus muncul,
"Hei, sibuk banget sih. Besok ikut main, yuk?"
"Deuuh, Dian.. Anak gelanggangan banget, ya. Sibuk banget."
"Yan, mbok leren sik. Rupamu pucet."
dan pertanyaan lain yang pada intinya bak mencapku habis-habisan aku adalah orang yang sibuk. Tidak ada waktu untuk berha-ha-hi-hi, tidak ada waktu untuk memanjakan diri, tidak ada waktu untuk rehat.
-SEKARANG-
Tepat sesaat peralihan semester 5 ke semester 6,
"Wah, nggak sibuk lagi sekarang?"
"Nggak ngegelanggang lagi sekarang?"
"Wah, ajiib. Dian mulai selow."
dan pertanyaan lain yang pada intinya berkesimpulan pada aku sudah tidak punya kesibukan lagi.
Pertanyaan-pertanyaan atau -sekedar- celetukan mereka kerap dilontarkan secara langsung saat kebetulan bertemu. Ada juga yang memang niat nyeletuk sedemikian rupanya, PM saya lewat medsos bahkan sms. (!)
Ini sungguh mengejutkan dan membahagiakan. Bahwa ternyata lumayan banyak juga yah yang menaruh perhatian pada saya *ketawa mringis*.
"Setiap waktu, setiap detik dalam setiap menit, setiap menit dalam setiap jam, setiap jam dalam setiap hari, setiap hari dalam setiap bulan (sila lanjutkan sendiri), kita akan terus ditagih oleh suatu hal. Apapun itu."
Sengaja saya pilih diksi "ditagih" bukan "dituntut". Mengapa?
Kata dasar tagih berarti kita semacam dikondisikan untuk terus memberi. Ditagih berarti kita memiliki hutang. Hutang apa? Banyak. (!)
Tuhan telah mencipta kita dengan keadaan terbaik. Sepanjang hidup, untuk memperbaiki keadaan tersebut, kita harus(nya) melakukan suatu aksi atau usaha atas diri kita untuk hidup kita sendiri. Dan kalau bisa sih juga untuk kemaslahatan banyak orang.
Sedangkan dituntut, seolah otak merespon adanya energi yang tidak positif, kurang adanya energi positif yang dapat diambil. Dituntut seolah kita bekerja karena keadaan, bukan bekerja untuk keadaan.
Sedikit gambaran yang bisa saya jelaskan disini.
Saat kita duduk di bangku sekolah kelas 2 SD. Mampu calistung (baca, tulis, hitung) adalah kemampuan final yang wajib kita miliki. Ya, di penghujung kelas 2 SD, kita seolah ditagih untuk memiliki kemampuan calistung. Jika tak kunjung mampu? Tinggal kelas.
Beranjak di kelas 3 SD, kita tidak hanya diharapkan mampu untuk calistung, tetapi juga mampu memahami sejarah Indonesia di mata pelajaran IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial). Di penghujung kelas 3 SD, pengetahuan kita juga diuji tentang mata pelajaran IPS. Ini juga semacam penagihan. Jika tak kunjung mampu? Sila pindah sekolah.
Anyway, ini contoh saya ambil ketika masih di zaman saya duduk di bangku SD. Sedangkan beberapa tahun terakhir, kurikulum untuk pelajar SD semakin kompleks a.ka makin sulit ha ha ha. Bayangkan sajah, saudara saya yang duduk di kelas 2 SD sudah diajarkan mengenai kebumian dan bahasa Mandarin! Sungguh,...
Kembali ke pembahasan pemilihan kata tagih. Tagih- ditagih, seolah menyiratkan bahwa ada yang harus kita bayar untuk menuntaskan tagihan. Layaknya tagihan PLN, jika lebih dari 10 hari tak kunjung dibayar, maka listrik akan dipadamkan. Dan akan dinyalakan kembali sampai tagihan PLN terbayarkan.
Mari kita refleksikan,
Mungkin sebagian dari kita (juga saya) seolah menanam kuat-kuat dalam otak bahwa hidup itu penuh tuntutan. Sehingga kita harus bekerja lebih keras, belajar lebih giat, berusaha lebih gigih untuk memenuhi tuntutan itu.
Satu contoh sepele ketika seorang dosen bertanya kepada mahasiswanya alasan pengambilan mata kuliah yang beliau ampu. Tak sedikit yang menjawab "karena mata kuliah wajib, bu", "karena nggak tahu mau ambil apa, pak", "karena buat menuhin SKS, bu" bahkan "salah pencet, pak".
Contoh di atas seperti terdengar bahwa mereka mengambil mata kuliah A karena tuntutan. Seolah tidak ada keikhlasan di dalamnya. Seolah merekapun sebenarnya tak memerlukan belajar tentang A, seolah andai saja mata kuliah A ditiadakan mereka pun masih bisa memahaminya, dan lainnya.
Contoh lain ketika bercakap-cakap dengan seorang kawan perihal alasannya yang tiba-tiba mengenakan jilbab. Dengan enteng dia menjawab "Sekarang lagi trennya berjilbab. Dan toh dengan berjilbab menyempurnakan syari'at agama, 'kan?"
Helooo? Yang benar saja! Berjilbab karena tuntutan tren?
Eh coba saja kawan saya yang newbi berjilbab ini menjawab pertanyaan dengan "Iya, nih. Alhamdulillah aku sadar, harusnya aku berjilbab. Karena itu syari'at agama. Apalagi usiaku sekarang 25 tahun. Malulah, kalau nggak berjilbab."
Nah! Ini dia yang ditunggu! Dia telah menyadari adanya tagihan, bukan tuntutan. Agama menagih untuk para muslimah mengenakan jilbab, bukan menuntut. Dan sekali lagi, menagih mensyaratkan kita untuk membayarnya. Kalau tidak dibayar, selamanya akan jadi hutang. Ya, 'kan?
Aduhaai, indah kali ya? Kalau masing-masing dari kita menyadari perjalanan kehidupan adalah proses untuk 'membayar tagihan'. Tagihan untuk siapa sih, Dian? Ya untuk Tuhan, untuk diri-sendiri, untuk keluarga, untuk masyarakat, untuk alam, untuk semua makhluk, untuk setiap kejadian. Dengan menanamkan '"ditagih" ketimbang "dituntut" pasti akan mengalir keikhlasan di dalamnya, pasti akan ada kesadaran untuk mengusahakan, pasti ada semangat untuk berikhtiar, pasti akan lebih getol berdoa.
Refresh..
Berbicara mengenai celetukan teman-teman saya, saya menanggapinya sebagai suatu tagihan. Ketika dulu banyak yang berceletuk saya ini sok sibuk padahal nggak sama sekali, saya seperti ditagih untuk juga memikirkan diri sendiri. Sebagai contoh memelihara kesehatan. Perkara ini penting banget karena tanpa kesehatan mustahil melakukan aktivitas dengan lancar, ini contoh. Dan sekarang, kembali mereka berceletuk saya mulai selow, seolah menagih saya untuk tetap presisten dan konsisten untuk tetap beraktivitas positif.
Selalu ada hikmah di balik setiap kisah,
bersyukurnya kita sebagai manusia, selalu diberi banyak pilihan.
0 comments:
Post a Comment