WHAT'S NEW?
Loading...

Sarang Burung dan Seleksi Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) UGM 2015


22 Februari 2015
08.11 WIB
FEB UGM, lantai 3

Pagi ini bak sadarkan, dipukul, dikeplak, oleh pemandangan maha menakjubkan.

Aku berdiri lemas, tidak tenang dibibir balkon depan ruang kelas. Di tengah gaungan suara teman-teman Mawapres UGM 2015 tingkat fakultas yang tengah serius mendalami dan mempelajari materi presentasi karya tulis ilmiah. Aku sudah menyempatkan diri untuk belajar juga, seperti mereka, sebenarnya. Tetapi entah, batinku ini tak menentu rasanya. Butuh inspirasi pagi.

Mataku memandang nyalang taman tengah FEB dari lantai 3. Dan kemudian tertegun oleh burung yang melintas tepat di depan pandanganku. Ada sehelai daun yang cukup panjang di paruhnya. Aku mengamati gerak-gerik si burung. Kali ini aku sungguh antusias.

Burung tadi hinggap pada dahan pohon palm. Eh rupanya dia tidak sendirian disana. Wah tidak jomblo! Mungkin dia sudah get married. Seekor burung yang lain telah menunggu kedatangannya. Kemudian suatu menakjubkan terjadi.

Burung yang menanti kehadiran burung pembawa daun tadi lantas dengan sigap mengambil ujung daun yang lain. Keduanya menarik-narik daun yang digigit di paruhnya secara bersamaan. Kemudian satu burung meletakkannya pada semacam kumpulan daun kering yang sudah membentuk lingkaran yang pipih. Oh oh! I got it! Daun itu semacam disobek menjadi bagian-bagian kecil dan panjang, kemudian dirangkai sedemikian rupa dan setelah sekian lama, jadilah sarang! :D

Masya Allaah!
Ini kali pertama seumur hidup melihat dan mengerti langsung pembuatan sarang burung oleh burungnya sendiri *haha.
Senyum mengembang di bibirku usai melihat pemandangan itu. Tunggu, tak sampai disitu.

Accident terjadi. Daun yang ditarik-tarik oleh paruh kedua burung tadi terjatuh, terhempas ke tanah. Duh, aku bisa merasakan hancurnya perasaan si burung saat itu. Kupikir si burung akan membiarkannya terjatuh begitu saja. Ternyata tidak!

Satu burung dari mereka terbang ke bawah, menggigit daun dengan paruhnya kemudian terbang lagi ke atas. Hoh, mulai bergidik aku saat itu. Pandanganku kupertajam, sangat meyakini pasti akan ada kejadian lebih luar biasa dari yang kulihat tadi.

Di saat burung itu kembali pada kawannya yang tengah menantinya di dahan, nahas daun itu terjatuh lagi, terhempas ke tanah lagi. Dan burung itu dengan cepat terbang ke bawah lagi, mengambil daun palm yang akan menjadi penyusun sarangnya. Kemudian dibawanya terbang ke dahan yang sama. Di saat paruh burung kawannya hendak menggigit ujung daun yang lain, nahas lagi, daun itu jatuh lagi! Dan si burung terbang lagi ke bawah, mengambil daun dengan paruhnya dan terbang lagi.

Belum sampai pada dahan yang dituju, daun yang digigit di paruhnya terhempas ke bawah. Masya Allaah. Dan si burung yang mengetahui hal itu lantas terbang lagi ke bawah, berusaha mengambil daun itu. Kejadian luar biasa terjadi lagi.

Kupikir burung itu akan mengambil daun yang sudah jatuh berulang-ulang tadi. Ternyata tidak. Burung itu terbang rendah ke sisi taman yang lain, kulihat dia menggigit satu daun yang berbeda. Kali ini lebih pendek ukuran dan lebih kering daunnya dibanding dengan daun yang sebelumnya. Dibawanya daun itu terbang, menghampiri kawannya yang tengah menanti dari tadi. Dan pemandangan tarik menarik daun antara dua burung terjadi lagi.

Seketika itu juga air mataku berlinang. Duh, dasar aku cengeng. Gampang nangis, gampang terharu, gampang galau. Pemandangan tadi begitu meresapkan mata. Begitu indah! Aku benar-benar bersyukur, karena saat itu juga aku tersadar, semangatku meletup. Bahwa, jika hanya seekor burung yang hanya punya paruh dan kaki untuk membangun sarang yang bisa dibilang juga termasuk masa depannya, mereka mampu dan sangat pantang menyerah. Mengapa aku yang punya panca indra lengkap ditambah akal pikiran dan perasaan, tidak bersyukur?

Terbukti dengan pagi ini yang tiba-tiba saja aku down karena persiapan presentasi karya ilmiah yang kurasa kurang. Wait. Harusnya aku semangat! Perjuangan belum berakhir. Apapun yang terjadi, yang terpenting diusahakan dengan semaksimal mungkin dahulu, kan?. Hei kenapa aku kehilangan prinsip hidupku yang ini?

Aku menghapus air mata yang berlinang hebat, secara diam-diam. Batinku makin tak tenang. Pada akhirnya kuputuskan untuk shalat dhuha. Memasrahkan segala sesuatu yang akan terjadi di depan pada Allah, di tengah usahaku yang sudah kulakukan sejak lampau.

Saat aku bersujud, aku teringat betapa usaha yang kulakukan di masa lampau penuh dengan lika liku. Aku saat ini, adalah akumulasi aku di masa lalu. Sejak semester I di bangku kuliah aku telah berkegiatan dengan cukup padat. Tak hanya sebatas organisasi, pengembangan softskill, tapi juga lomba - lomba. Itu semua bukan kumaksudkan untuk tujuan agar mempertebal CV atau hanya mengikutkan diri pada ajang Mahasiswa Berprestasi. BUKAN!

Itu semua kulakukan dengan sadar adanya. Sadar untuk masa depanku yang lebih baik, sadar untuk mengangkat martabat keluarga, sadar untuk menjadi pribadi yang harus selalu memberi manfaat, sadar untuk membuat mama, single parent paling hebat di dunia, semakin bahagia. Masa depan dibangun dari masa lampau, bukan?

Terisak aku dalam sujudku yang cukup lama. Aku sungguh tiada apa-apanya. Maka dari itu aku harus terus berusaha, untuk apapun itu.

Seketika itu juga, batinku merasa jaaauuuuh, jauuuhhh tenang dari sebelumnya. Hatiku tertata. Semangat baru menyala. Dan pada akhirnya, aku menuai inspirasi yang sangat berharga dalam hidup, yang mambawaku untuk tak gentar menghadapi perjuangan hingga akhir.

Ini bukan ambisi, tapi perjuangan untuk mempertaruhkan kualitas diri. Aku membayangkan jika aku leda - lede, maka semuanya akan berantakan dan kualitas diri yang sejak lama kubangun akan runtuh sudah. Juga tentu akan merusak image mahasiswa Fakultas Kehutanan karena aku adalah salah satu representasi mereka dalam seleksi ini. Tidak, aku tidak ingin merusak.

Dan inspirasi pagi ini, menjadi salah satu pengantar atas rahmat Allah yang tak terkira ini. Semoga Allah menguatkan dan melancarkan segala proses yang ada di depan. Salah satunya proses menuju Seleksi Final Mawapres UGM 2015. Aamiin.

Terlepas dari itu, sampai pada seleksi ini, benar-benar kado Allah yang Maha Indah. Jadi ini adalah kado, bukan tujuan.

Foto bersama 10 Mahasiswa Berprestasi UGM 2015 (2 tidak hadir saat pengumuman karena suatu acara). Ada 36 mahasiswa yang mengikuti seleksi. Mengenai aku yang termasuk 10 besar, ini pasti faktor keberuntungan.
Karena ke 35 mahasiswa yang lain, jauh lebih hebat dariku.
Dokumen: Syabilla Rivenia, Mawapres 1 Fakultas Kedokteran Hewan UGM


--------------------------
Untuk kalian yang jadi korban broken home, ditinggal salah satu orangtua karena hal yang lebih membahagiakan. Jangan bersedih! Jangan menyimpang! Hidup ini penuh ujian. Dan juga penuh kebahagiaan!
-------------------------

Ditulis Senin, 23 Februari 2015 pukul 03.30 pagi WIB.



Break the Silence

Rain falls,
Enough good for me to write some poems or just write down an abstrac ideas on my board.
What can we say in the silence? I mean, people around you just keep their silence and make you want (like) to keep silence too. You know the facts and really want to share, so people do not do something careless or useless like have you done before. Ah, forget it.

Everyone, actually, should always take good care with themselves. Whoever they are. 

I often got some advices from "mysterious person" who came into my dream along the sleep. He or she advise me to always be careful with surrounding me. It came to me so often. But I really be grateful! The fact is God really loves me till He sent many good advices through my dream :)

I told about those dream with my special one. I told him impressively. He just said, I should be a self-correction man everytime. It means I should do introspection for my own self for what have I done all the time.

Ya, just give more attention for our own self. Just do more self improvement. And do not ever think, we are the best at all. We never have mistake. Who we are? Ha ha ha.

Perjalanan Kehidupan: Dituntut atau Ditagih?

-DULU-
Seringkali pertanyaan beberapa teman di kampus muncul,

"Hei, sibuk banget sih. Besok ikut main, yuk?"
"Deuuh, Dian.. Anak gelanggangan banget, ya. Sibuk banget."
"Yan, mbok leren sik. Rupamu pucet."
"Yan, mbok golek pacar. Ben nek neng ngendi-ngendi ora nyilih pit kampus."
dan pertanyaan lain yang pada intinya bak mencapku habis-habisan aku adalah orang yang sibuk. Tidak ada waktu untuk berha-ha-hi-hi, tidak ada waktu untuk memanjakan diri, tidak ada waktu untuk rehat.

-SEKARANG-
Tepat sesaat peralihan semester 5 ke semester 6,

"Wah, nggak sibuk lagi sekarang?"
"Nggak ngegelanggang lagi sekarang?"
"Wah, ajiib. Dian mulai selow."
"Kapan nikah, Yan?" *abaikan*
dan pertanyaan lain yang pada intinya berkesimpulan pada aku sudah tidak punya kesibukan lagi.

Pertanyaan-pertanyaan atau -sekedar- celetukan mereka kerap dilontarkan secara langsung saat kebetulan bertemu. Ada juga yang memang niat nyeletuk sedemikian rupanya, PM saya lewat medsos bahkan sms. (!)
Ini sungguh mengejutkan dan membahagiakan. Bahwa ternyata lumayan banyak juga yah yang menaruh perhatian pada saya *ketawa mringis*.


"Setiap waktu, setiap detik dalam setiap menit, setiap menit dalam setiap jam, setiap jam dalam setiap hari, setiap hari dalam setiap bulan (sila lanjutkan sendiri), kita akan terus ditagih oleh suatu hal. Apapun itu."

Sengaja saya pilih diksi "ditagih" bukan "dituntut". Mengapa?
Kata dasar tagih berarti kita semacam dikondisikan untuk terus memberi. Ditagih berarti kita memiliki hutang. Hutang apa? Banyak. (!)
Tuhan telah mencipta kita dengan keadaan terbaik. Sepanjang hidup, untuk memperbaiki keadaan tersebut, kita harus(nya) melakukan suatu aksi atau usaha atas diri kita untuk hidup kita sendiri. Dan kalau bisa sih juga untuk kemaslahatan banyak orang. 
Sedangkan dituntut, seolah otak merespon adanya energi yang tidak positif, kurang adanya energi positif yang dapat diambil. Dituntut seolah kita bekerja karena keadaan, bukan bekerja untuk keadaan.

Sedikit gambaran yang bisa saya jelaskan disini. 
Saat kita duduk di bangku sekolah kelas 2 SD. Mampu calistung (baca, tulis, hitung) adalah kemampuan final yang wajib kita miliki. Ya, di penghujung kelas 2 SD, kita seolah ditagih untuk memiliki kemampuan calistung. Jika tak kunjung mampu? Tinggal kelas.
Beranjak di kelas 3 SD, kita tidak hanya diharapkan mampu untuk calistung, tetapi juga mampu memahami sejarah Indonesia di mata pelajaran IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial). Di penghujung kelas 3 SD, pengetahuan kita juga diuji tentang mata pelajaran IPS. Ini juga semacam penagihan. Jika tak kunjung mampu? Sila pindah sekolah.
Anyway, ini contoh saya ambil ketika masih di zaman saya duduk di bangku SD. Sedangkan beberapa tahun terakhir, kurikulum untuk pelajar SD semakin kompleks a.ka makin sulit ha ha ha. Bayangkan sajah, saudara saya yang duduk di kelas 2 SD sudah diajarkan mengenai kebumian dan bahasa Mandarin! Sungguh,...

Kembali ke pembahasan pemilihan kata tagih. Tagih- ditagih, seolah menyiratkan bahwa ada yang harus kita bayar untuk menuntaskan tagihan. Layaknya tagihan PLN, jika lebih dari 10 hari tak kunjung dibayar, maka listrik akan dipadamkan. Dan akan dinyalakan kembali sampai tagihan PLN terbayarkan.

Mari kita refleksikan,
Mungkin sebagian dari kita (juga saya) seolah menanam kuat-kuat dalam otak bahwa hidup itu penuh tuntutan. Sehingga kita harus bekerja lebih keras, belajar lebih giat, berusaha lebih gigih untuk memenuhi tuntutan itu. 

Satu contoh sepele ketika seorang dosen bertanya kepada mahasiswanya alasan pengambilan mata kuliah yang beliau ampu. Tak sedikit yang menjawab "karena mata kuliah wajib, bu", "karena nggak tahu mau ambil apa, pak", "karena buat menuhin SKS, bu" bahkan "salah pencet, pak".
(Saya juga tidak jarang jawab demikian, sih. Ha ha ha)
Contoh di atas seperti terdengar bahwa mereka mengambil mata kuliah A karena tuntutan. Seolah tidak ada keikhlasan di dalamnya. Seolah merekapun sebenarnya tak memerlukan belajar tentang A, seolah andai saja mata kuliah A ditiadakan mereka pun masih bisa memahaminya, dan lainnya.

Contoh lain ketika bercakap-cakap dengan seorang kawan perihal alasannya yang tiba-tiba mengenakan jilbab. Dengan enteng dia menjawab "Sekarang lagi trennya berjilbab. Dan toh dengan berjilbab menyempurnakan syari'at agama, 'kan?"
Helooo? Yang benar saja! Berjilbab karena tuntutan tren? 

Eh coba saja kawan saya yang newbi berjilbab ini menjawab pertanyaan dengan "Iya, nih. Alhamdulillah aku sadar, harusnya aku berjilbab. Karena itu syari'at agama. Apalagi usiaku sekarang 25 tahun. Malulah, kalau nggak berjilbab."
Nah! Ini dia yang ditunggu! Dia telah menyadari adanya tagihan, bukan tuntutan. Agama menagih untuk para muslimah mengenakan jilbab, bukan menuntut. Dan sekali lagi, menagih mensyaratkan kita untuk membayarnya. Kalau tidak dibayar, selamanya akan jadi hutang. Ya, 'kan

Aduhaai, indah kali ya? Kalau masing-masing dari kita menyadari perjalanan kehidupan adalah proses untuk 'membayar tagihan'. Tagihan untuk siapa sih, Dian? Ya untuk Tuhan, untuk diri-sendiri, untuk keluarga, untuk masyarakat, untuk alam, untuk semua makhluk, untuk setiap kejadian. Dengan menanamkan '"ditagih" ketimbang "dituntut" pasti akan mengalir keikhlasan di dalamnya, pasti akan ada kesadaran untuk mengusahakan, pasti ada semangat untuk berikhtiar, pasti akan lebih getol berdoa. 

Refresh..
Berbicara mengenai celetukan teman-teman saya, saya menanggapinya sebagai suatu tagihan. Ketika dulu banyak yang berceletuk saya ini sok sibuk padahal nggak sama sekali, saya seperti ditagih untuk juga memikirkan diri sendiri. Sebagai contoh memelihara kesehatan. Perkara ini penting banget karena tanpa kesehatan mustahil melakukan aktivitas dengan lancar, ini contoh. Dan sekarang, kembali mereka berceletuk saya mulai selow, seolah menagih saya untuk tetap presisten dan konsisten untuk tetap beraktivitas positif.

Selalu ada hikmah di balik setiap kisah,
bersyukurnya kita sebagai manusia, selalu diberi banyak pilihan.

Pagi yang eMboh


Kepalaku begitu pusing ketika menulis pagi ini. Ah entahlah, semenjak bangun pagi dan setelahnya mandi, aku merasakan bak palu godam memukuliku kencang - kencang.
Dan pagi ini, seperti biasa, setelah pekerjaan rumah *cyeilah* selesai kutuntaskan, aku menyambangi laptop untuk sekedar membaca-baca. Membaca apapun itu.

Terhenyak ketika tengah asyik mengamati timeline facebook, aku mendapati permintaan untuk menyukai laman "Inspirasi UGM" namanya. Makin terhenyak pula ketika setelah kurunut (a.ka kepo) satu persatu, eh kok ada foto-foto orang dengan penjelasan beberapa achievements di bawahnya. Woh woh, jangan-jangaaan...

(wait me just a moment, I'd like to read The Jakarta Post)

Hatiku Tak Sekuat Baja


Suatu ketika seorang kawan yang sangat dekat denganku, dengan kehidupanku, berceletuk kalau aku adalah orang yang lemah. Bagaimana tidak? Aku sangat mudah untuk berlinangan air mata. Sangat mudah untuk menangis. Tidak hanya menangis ketika berbenturan dengan hal - hal sedih, berkecamuk, tetapi bahkan juga hal - hal yang lucu sekalipun. Aku sangat mudah untuk menangis. 

Entahlah, bagaimana bisa syaraf pusatku ini kok sangat mudah menggerakkan syaraf di indra penglihatan untuk mengeluarkan air mata.


Tetiba saja terlintas dalam benakku, mungkin memang aku orang yang lemah. Sekalipun di luar aku terlihat garang, mudah sekali berderai tawa, terlihat tanpa masalah setiap saat. Oh, sungguh saktinya aku. Bahwa mungkin aku semacam seorang berkepribadian ganda. (Eh tapi bukankah setiap orang demikian?)



"Hidup adalah tentang masalah - masalah, dan perjalanan melewatinya."

Sejatinya manusia hanya akan berkutat dengan dua hal di atas: masalah dan penyelesaian. Bisa kita bayangkan, seorang balita yang sudah harus berhadapan masalah menggerakan syaraf motoriknya untuk bisa berjalan. Seringkali dia menangis karena terjatuh dengan tiba - tiba. Lalu dengan berjalannya waktu, dengan dukungan orangtua dan dorongan dalam dirinya sendiri,  balita dapat berjalan. Dengan sangat baik, bahkan tak lama dia bisa berlari. Tidak puas sampai disitu, tentu ada tingkatan lanjut yang diinginkan oleh setiap manusia sekalipun dia masih balita. Ambillah contoh, setelah puas mampu berjalan, keinginannya berlanjut untuk dapat bersepeda. Dan tentunya, ada keinginan pasti ada kendalanya.


Renungkan, sejak kita kecil, kita sudah bersentuhan dengan masalah dan juga sudah akrab dengan bagaimana penyelesaiannya. Seiring berjalannya waktu, masalah yang kita hadapi semakin besar. Penyelesaian yang dibutuhkan pun tidak terbatas pada hal - hal kecil. Seringnya, butuh nyali atau keberanian untuk menyelesaikannya.



"Dan menurutku, keberanian itu terletak pada pikiran. Dan pikiran erat kaitannya dengan hati."

Hati itu bak samudra. Luasnya tiada tara. Samudra yang bersih, akan begitu indah. Samudra yang bersih, memberikan kehidupan panjang untuk biota laut. Samudra yang bersih, menyenangkan untuk setiap makhluk. Serupa juga dengan hati.


Pikiran sangat bergantung pada kondisi hati. Hati tak bisa terlepas dari bagaimana pikiran kita bekerja. Ketika mungkin dalam suatu masa, kita bertemu dengan seseorang yang telah lama membuat hati tersakiti, pikiran kemudian telah termindset bahwa orang itu buruk, orang itu jahat, tak pantas ditegur sapa, tak pantas ditolong, maka dapat dipastikan hatinya mengeras atau membara. Jika mungkin pikiran tak termindset demikian, bahwa setiap orang pasti pernah berbuat salah, bahwa setiap orang yang salah harus dimaafkan, bahwa setiap orang harus ditolong, maka dapat dipastikan hati benar - benar lembut, tak ada kerak atau bara disana.

Beberapa orang diciptakan dengan pikiran dan hati yang selaras, beberapa pula diciptakan dengan pikiran dan hati yang tak selaras.

Aku sendiri adalah orang dengan golongan kedua, pikiran dan hati yang tak selaras. Ketika aku mengerjakan suatu hal dengan resiko besar, pikiran acapkali menginstruksikan “jalani saja!” tetapi hati berbicara “Oh, bagaimana aku mampu?”

Jika sudah begitu, ALLAH satu - satunya tempatku mengadu. ALLAH adalah pemberi jawaban yang sempurna. Ketika jarakku denganNYA begitu dekat, aku merasakan suatu kemantapan hati yang luar biasa. Hingga aku begitu berani memutuskan suatu hal di luar nalar. Tapi ketika jarakku begitu jauh denganNYA, segala keputusan yang kuambil seringnya egois. Pikiran begitu memberingas. Hatipun jadi semakin tak tertata.

Pikiran yang seringnya liar ini tak selaras dengan hatiku yang mudah melunak. I mean, I have a braveness mind, very brave. I often set my mind to go out from comfort zone. But, how about my heart? It often just looking for a comfort zone.

Kalau sudah begini, aku benar - benar merasa betapa kecil dan tak ada digdayanya aku di antara jagad raya. Kalau sudah begini aku semakin sering datang menjemput ilham. Dan saat begini pula - lah, aku merasa ALLAH benar sayang padaku. Mengujiku pada kata pikiran dan kata hati yang seringnya berlawanan.

Pikiranku terus meliar, mencari kepuasan yang tanpa batas. Tapi seringnya hatiku menjadi suatu alarm. Jika sudah melebihi batas, maka hati akan memberi tanda tersendiri. Entah bagaimana caranya, misal saja menangis. Tiba - tiba.

Persoalan pikiran dan hati memang sangat sulit untuk diuraikan, untuk dicari benang merahnya. Banyak hal yang mempengaruhi keduanya, utamanya pengaruh dari lingkungan. Untungnya, manusia selalu dikaruniai banyak pilihan. Pilih yang baik atau buruk (?).

Kembali dengan celetukan kawanku yang mengatakan aku lemah karena sering menangis. Ini sebenarnya refleks hati. Aku pun juga tidak tahu. Suka aja gitu nangis dengan tiba - tiba, entah lagi seneng, sedih, atau lucu sekalipun.

Berbicara soal hati, siapapun pasti memiliki. Hati yang sedari tadi kuuraikan memiliki maksud: perasaan. Ketika pikiran membuana dengan bebas, tak pernah ada kata puas, maka justru hati-lah yang jadi pengendali.

Satu hal yang perlu kita tahu, hati itu rapuh. Bahwa orang sekaliber preman kota pun, ada saatnya akan menemui suatu keadaan dimana hatinya begitu rapuh, perlu untuk dibimbing. Hatinya begitu rapuh, hingga pikiran tak mampu bekerja normal. Dan bagiku,
"Ketika hatiku tak terbuat dari baja, Allah-lah satu-satunya Dzat yang menguatkan hatiku, lebih dari baja"

Hingga aku yakin pada apa yang dinamakan mukjizat dari masalah dan perjalanan hidup yang tak ada ujungnya. Dan baik hati maupun pikiran, keduanya bisa sama - sama berada di posisi sebagai pengendali atau sebagai  yang dikendalikan.