WHAT'S NEW?
Loading...

Jangan Merasa Kecil!



Mendadak tercenung ketika mendapati media online yang memuat hasil reportase antara seorang wartawan dengan saya beberapa tempo yang lalu.


Doc. Pribadi

Reportase ini sudah lama, 3 tahun yang lalu kurang lebihnya. Ya, saat itu saya masih berseragamkan putih abu – abu. Diceritakan di dalamnya tentang beberapa pencapaian yang telah saya raih semasa SMA. Eitss, bukan bermaksud sombong dan menyombongkan lho yaa…  Saya hanya ingin mereviewnya sejenak di tengah kesibukan kuliah yang sekarang.

Buat apa mereview? 

Nah, ini persoalannya. 

Begini. Segala pencapaian kita di masa lalu –sekecil apapun itu- bukanlah hal kecil dan tidak penting di masa sekarang. Mungkin di antara kita, kadang dan bahkan tidak jarang, melupakan pencapaian – pencapaian kita di masa lalu. Saat ini, kita menganggap itu sebagai hal yang ‘kecil’.

Pencapaian. Satu kata yang tentu tidak muluk – muluk. Pencapaian identik dengan sesuatu hal yang membuat pencapainya bangga, bahagia, merasa berada, pokoknya hal yang menyenangkan. Pencapaian sangat dekat dengan hasil kerja keras atau upaya yang gigih. Dan perlu saya garis bawahi di sini, pencapaian adalah hal yang positif.

Mengapa perlu saya garis bawahi?

Tentu, setiap orang punya persepsi yang berbeda. Pencapaian menurut seorang penjual adalah ketika dagangannya laris terjual, sedangkan pencapaian menurut seorang koruptor adalah ketika mampu korup sana sini tanpa ketahuan, misal. Ini hanya misal.

Setiap orang pun juga memiliki tolok ukur berbeda tentang pencapaian. Waktu juga menentukan tolok ukur pencapaian itu. Sebagai contoh, sewaktu saya masih duduk di bangku SD, pencapaian besar yang sangat ingin saya capai saat itu adalah meraih juara I selama 6 tahun berturut – turut. Saat ini, saya telah menjadi seorang mahasiswa dan target pencapaian saya tentu sudah kompleks, bukan hanya di akademik melainkan juga tiap lini kehidupan saya.

Memang harus begitu!

Setiap orang harus memiliki target pencapaian yang harus lebih besar, lebih bermakna dari waktu ke waktu. Ketika telah mencapai target pencapaian A, lekas bersyukur dan kemudian kejar target B, C, D dan seterusnya. Seiring waktu, tanpa kita  sadari kita telah melewati tangga demi tangga yang membawa kita ke ‘tempat’ yang lebih tinggi, lebih mulia, lebih berada.

Tapi sayangnya, tak banyak orang yang ingat dengan perjalanannya melewati tiap tangga itu. Sampai pada suatu ketika, ketika dia dihadapkan pada suatu kegagalan, dia kehilangan daya. Merasa hopeless, useless and everything about down syndrome.




Well, sah – sah saja. Tapi jangan melulu terkungkung. Waktu terus berjalan, tapi apa kita hanya diam? Diingat lagi pencapaian – pencapaian yang lalu. Sekali lagi, pencapaian bukan hanya milik orang BESAR. Hargai setiap pencapaian yang ada. Syukuri dan jangan lekas tinggi hati.
 
Nah ini problemnya. Terkadang kita sering alpa diri: menjadi tinggi hati. Plisss, tolong. Pencapaian yang kamu dapatkan saat ini bukan karena usahamu saja! Orang tuamu, keluarga, sahabat, bahkan musuh sekalipun telah andil dalam pencapaianmu. Maka apa dengan tinggi hati pantas menjadi pribadimu? Sekali – kali tidak.

Tinggi hati adalah musuh nyata bagi orang – orang yang sukses.

So, let it go! Tetap santun, easy going, humble, dan justru harusnya berbuat baik lebih banyak lagi sebagai ungkapan rasa syukur.

Oke, disini bukan maksud saya sebagai seorang yang sok jadi penasihat, sok number one, sok baik, dan segalanya. Saya menulisnya sebagai bentuk pengingat untuk saya utamanya, dan pembaca umumnya. Saya menulisnya ketika tersadar, saya hampir melupakan pencapaian – pencapaian yang lalu. Mungkin kita semua juga hampir melupakannya, bukan?

Sekali lagi sebagai yang terakhir, setiap orang pasti punya pencapaian. Sekecil apapun itu hargai sebagai pengahagaan luar biasa atas keberhasilan kita menapaki tiap tangga kehidupan. Dan ketika telah mencapai pencapaian itu, segera berbenah diri karena masih ada hal lain yang harus diusahakan, yang harus dicapai.

Cemara Udang, Aku Cinta!




Matanya masih terpejam. Menikmati karya Illahi yang menakjubkan. Deru angin masih membelai dahsyat tiap lekuk tubuhnya. Debur ombak masih setia mengiringi alunan imajinasinya. Dan kala keindahan itu kian menakjubkan dalam imajinasinya, bibir mungilnya tersungging. Tersenyum mempesona.
Kedua tangannya dibentangkan ke samping. Membiarkan angin kencang itu leluasa menyelimuti tubuhnya. Sesekali percikan air laut memerciki tubuhnya, juga mukanya. Lidahnya sempat terjulur untuk menjilat percikan air yang menempel tepat di bawah bibirnya. Asin.
“ Pantai ini memang indah... Angin kencang... Ombak Besar...”
Suara parau itu mendadak menyambanginya. Tapi pun itu tak serta merta membuatnya lantas tergelitik untuk mengomentarinya. Matanya masih terpejam. Gadis cantik berwajah oriental itu masih menikmati keanggunan alam yang kini menghipnotisnya.
Lelaki sebaya yang kini berdiri di sampingnya itu hanya memandang wajahnya dengan hangat. Sejenak kemudian, pandangannnya lurus ke depan. Beralih pada gulungan ombak yang terhempas oleh kencangnya angin.Segaris senyum lantas terkembang di bibirnya. Menakjubkan.
“ HEI KALIAN!!!”
Keduanya tersentak bersamaan. Dengan cepat mereka membalikkan badan ke sumber suara. Sekelompok orang tengah berdiri di atas gumuk pasir dengan tatapan tajam. Beberapa di antara mereka ada yang berkacak pinggang, mengisyaratkan kejengkelan.
“ Pacarannya nanti! Sekarang kerja!” teriak lelaki berambut gondrong dengan toa-nya.
Keduanya saling bertatapan. Ada isyarat lain dari tatapan itu. Tak lama kemudian keduanya berlari menghampiri kawan – kawannya yang tengah menunggu mereka di gumuk pasir yang cukup tinggi.

***

“ Kita harus jalankan target. Ingat, meskipun kita kesini atas nama Fakultas tapi harus kita camkan bahwa jadikan tugas ini sebagai batu loncatan kita untuk mengabdi pada masyarakat sesuai dengan salah satu pilar dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Mengerti?”
“ Mengerti...” jawab peserta briefing sore itu dengan serempak dan mantap.
Isam, ketua pelaksana yang saat itu memimpin briefing nampak tersenyum puas melihat semangat dan antusisme kawan – kawannya.
“ Baiklah, kita akan mulai jalankan misi. Beberapa warga desa Srigading pagi tadi membantu kita dalam pembuatan lobang penanaman. Hanya saja kurang mencukupi. Masih ada 200 lobang yang belum terbuat. Jadi, sesuai kesepakatan tim putri silahkan menanam terlebih dahulu pada lobang – lobang yang sudah ada yaitu dari utara ke timur,” terang Isam seraya menudingkan telunjuknya ke arah yang dimaksud.
“ Kita punya 1000 bibit cemara udang. Peserta yang hadir adalah 102 orang. Tiap orang bisa menanam 10 bibit. Saya optimis, sebelum mentari tenggelam kita akan mencapai target.”lanjut Isam dengan suara menggebu diikuti sorak sorai tepuk tangan dari seluruh kawannya. Lagi – lagi, bibirnya mengulum senyum. Ada keharuan yang membuncah dalam dadanya. Di balik kacamata itu, ada air bening yang tertahan di pelupuk mata.
“ Rimbawaaan!!!” teriak Isam, kali ini tanpa toa hingga suaranya yang lantang begitu menggelora di pinggir pantai.
“ AUOOOO!!!” jawab kesemua kawannya dengan penuh semangat sesaat setelah mendengar clue yang diberikan oleh Isam.
“ RIMBAWAAAAN!!!”
“ AUOOOO!!!”
Isam mengatupkan bibirnya. Kini, yang sedari tadi tertahan di pelupuk matanya jatuh seketika. Terhempas terbawa oleh angin yang semakin kencang menderu. Tanpa komando dari sang ketua, seluruh rekan – rekannya beranjak dari tempatnya duduk. Mengambil peralatan masing – masing, bibit dan memulai misi mereka untuk menanam pohon cemara udang di sekitar pantai Samas.
Sore ini tepat pada pukul 3, para rimbawan muda Bulaksumur –sebutan bagi mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Majapahit-  bersatu padu, menyatukan mimpi dan bertekad merealisasikannya melalui aksi nyata dalam penanaman 1000 cemara udang sebagai langkah penghijauan pesisir pantai Samas yang akhir – akhir ini diguncang abrasi pantai. Pantai Samas merupakan salah satu pantai di Yogyakarta yang rawan akan abrasi, ombak yang sangat besar dan angin yang sangat kencang.
Vegetasi di pantai ini sangat jarang ditemui. Padahal jika kondisi pantai demikian, perlu upaya penanaman vegetasi untuk mengurangi resiko abrasi. Dan itulah yang dilakukan oleh Isam serta kesemua rekan fakultasnya. Menanam bibit cemara udang setinggi 1,5 meter di areal pesisir pantai yang tidak tergenang atau terlimpas langsung oleh pasang surut air laut.
Raut –raut gembira nan ikhlas terlihat meresapkan. Mereka bekerja tak hanya ingin mengaplikasikan ilmu yang mereka peroleh di bangku kampus. Tapi juga ingin mendharma baktikan diri untuk banyak orang khususnya masyarakat desa Srigading yang baru - baru ini harus mengikhlaskan rumah dan penghidupannya dihempas ombak pantai Samas.

***

Nuril mencuri pandang ke arah Lia yang saat itu tengah memasukkan bibit ke dalam lobang tanam. Sesekali kepalanya menunduk dan kemudian tersenyum setelah menatap penuh kagum wajah gadis itu. Isam yang diam - diam mengamati gerak – gerik Nuril lantas berjalan menghampirinya.
“ Kenapa kamu? Senyum – senyum mulu dari tadi? Udah nggak waras ya?” cerca Isam seraya mencangkuli tanah yang akan digunakannya sebagai lobang tanam.
Nuril tak langsung menjawab. Bibirnya gamang meladeni cercaan Isam.
“ Idih, mukamu memerah... Lagi kasmaran pasti dah. Sama siapa sih? Aku bantu deh buat eksekusi. Ha-ha-ha...” cerca Isam lagi.
Nuril yang kesal mendengar cercaan Isam lantas melempar plastik bekas wadah pupuknya ke muka Isam.
“ Makan tuh plastik. Gangguin aja sih lo! Pergi sono...” gerutu Nuril.
“ Ha-ha. Cieee marah... Oke deh, aku pergi. Selamat mencuri – curi pandang yee...”
Nuril dan Isam melirik bersamaan ke arah Lia yang tenggelam dengan kegiatan penanamannya. Tak lama kemudian Nuril dan Isam saling bertatapan. Meledaklah tawa kedua lelaki gondrong itu. Isam menepuk – nepuk bahu Nuril sambil berbisik. Nuril yang mendengar bisikan Isam mendadak terbungkam. Matanya beralih lagi ke arah Lia. Sejenak kemudian kepalanya mengangguk pelan.
Sore semakin larut. Cahaya keemasan sang pemilik siang mulai temaram. Menyisakan siluet senja yang mempesona. Sedangkan para rimbawan Bulaksumur masih bertahan dalam perjuangan mereka menanam salah satu vegetasi pantai dari suku Casuarinaceae yang sebagian lebih jumlahnya telah berjajar rapi di pesisir. Raut – raut mereka masih sama: gembira nan ikhlas. Meneduhkan siapapun yang memandangnya.
Isam memandang lurus di hamparan ombak yang masih saja bergulung – gulung seperti sedang riang berkejar – kejaran. Setiap kali deburannya memeluk daratan, menyiram legamnya pasir. Pandangannya beralih ke bahu – bahu yang tengah menunduk bermandikan keringat, menuntaskan kewajiban mereka untuk memasukkan bibit demi bibit itu ke dalam lobang yang sudah tersedia.
“ Teman – teman, waktu kita masih 10 menit lagi. Tepat sebelum matahari akan tenggelam. Jangan sia – siakan waktu kalian. Pastikan kita semua bisa menikmati indahnya sunset di pantai Samas.” ujar Isam lewat toa-nya.
Beberapa kawannya nampak mengangguk kegirangan mendengar pengumuman dari Isam. Beberapa nampak terdiam dan saling berbisik karena suara Isam yang kalah dengan suara debur ombak sehingga mengharuskan mereka untuk bertanya. Beberapa lagi nampak mulai membereskan peralatannya dan melepas dahaga.
“ Lia, udah selesai belum?”
Suara itu sukses membuat Lia tergugah dari lamunannya. Kepalanya mendongak ke arah sosok yang berdiri di sampingnya.
“ Nuril?” lirihnya.
“ Ehm... Udah kok. Udah selesai.”
Nuril mengambil posisi duduk tepat disamping Lia. Memandang arakan awan yang berpadu dengan keemasan matahari. Sempurna indahnya.
“ Cemara udang... Casuarina equisetifolia... Salah satu spesies pohon yang menakjubkan. Dia bisa tumbuh di lahan kritis. Oleh karenanya cemara udang dijadikan sebagai vegetasi perintis.Pertumbuhan cukup cepat bahkan dapat merangsang pertumbuhan vegetasi lainnya. Dengan ditanamnya cemara udang dipercaya cukup mampu menyuburkan tanah. Dia punya bintil akar yang bisa bersimbiosis dengan bakteri penambat nitrogen. Hmm, luar biasa...”
“ Kedengarannya seperti hand outnya Pak Handoyo, dosen fisiologi kita.” sela Lia di tengah celotehan Nuril. Nuril hanya tersenyum kecut sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“ Ha-ha... Ih, si gondrong maluuu...” ledek Lia seraya mencubit lengan Nuril.
Nuril menelan ludahnya dengan berat. Ada desiran yang menghampiri ketika cubitan itu mendarat di lengannya. Hatinya bergejolak hebat. Persis seperti apa yang dirasakannya saat pertama kali bertemu dengan gadis itu.
“ Aku tadi cuma pengen menyamakannya sama seseorang...” kata Nuril dengan suara bergetar.
Kening Lia berkerut. “ Maksudnya?”
Nuril menghela napas, menata hatinya yang meracau. Pandangannya kembali lurus ke depan.
“ Kamu dan dia punya nama yang sama : Equisetifolia. Jika dia mampu bertahan hidup di  lahan kritis, kamu mampu bertahan hidup di kondisimu yang sekarang ini—”
“ Kamu—” potong Lia.
“ Kebetulan aku paham dengan kondisimu. Jujur, jika aku jadi kamu mungkin aku nggak bakal setegar itu. Di saat kamu sendiri butuh kasih sayang, perhatian dan motivasi dari keluarga yang harmonis, kamu justru dengan begitu tegarnya membagi bahagia dan rasa sayangmu dengan orang lain. Aku tahu kamu menjadi pengajar di Yayasan Peduli Anak Pasca Gempa ‘kan? Nggak cuma itu kamu juga menjadi pengajar untuk Anak Berkebutuhan Khusus dan siswa SD.
Kalo aku jadi kamu sih, ogah banget... Ngapain juga berbuat kayak gitu wong kita aja nggak pernah dapet rasa sayangnya sendiri dari keluarga. But you’re very different,” Nuril menghentikan kata – katanya. Menatap Lia yang sepertinya tertohok mendengar perkataannya. Dengan segenap hati yang tersisa diraihnya tangan Lia, menggenggamnya begitu erat.
“ Aku nggak bermaksud bikin kamu sedih. Aku cuma ingin menyadarkan bahwa kamu itu orang yang luar biasa. Jadi jangan pernah merasa sendiri. Jangan pernah merasa murung. Banyak orang yang sayang sama kamu kok. Apalagi kalo kamu mau membagi kisahmu itu sama kita... Sama mereka...” terang Nuril seraya mengangkat dagunya ke arah beberapa kawannya yang tengah bermain air di tepian pantai.
“ Kita akan selalu memahami kondisi siapapun disini.” kata Nuril pada akhirnya.
Tanpa sepengetahuan Nuril, Lia menitikkan butiran lembut dari pelupuk matanya. Relung hatinya mendadak lega. Sejak dirinya memasuki bangku perkuliahan, Lia memang terkenal sebagai sosok yang pendiam di kampusnya. Tapi jika sudah di luar kampus, Lia selalu memasang tampang ceria. Sungguh berbeda perangainya saat di dalam dan di luar kampus. Lia hanya melakukan hal itu karena keadaan. Keadaan dimana dia tak ingin ke seluruh temannya tahu akan kondisi keluarganya yang jauh dari kata baik. Dan kata – kata Nuril tadi telah mampu menggerakkan alam bawah sadarnya. Menyadarkan Lia dari tidur panjangnya.
Senyum terkembang dari bibir Lia.  “ Makasih ya, Ril...” gumam Lia. Nuril mengangguk pelan. Rongga hatinya lega saat melihat senyuman yang sangat membuainya itu.
“ Li—”
“ Woiii!!! Ayo upacara penutupan! Pacaran mulu deh!”
Teriakan yang beradu dengan debur ombak itu sontak menyentakkan mereka berdua. Nuril terpaksa menghentikan kata – katanya. Tak lama, keduanya pun menyusul semua rekannya yang telah berjajar di tepi pantai.
Isam yang saat itu berdiri di barisan paling depan dan menghadap ke semua temannya, segera memulai acara penutupan. Isam sempat mengedarkan pandangannya ke daerah pesisir yang telah tertanami ribuan cemara udang. Senyum tak henti menghiasi wajahnya. Pemandangan yang memang menakjubkan.
“ Saya sangat salut kepada kalian. kalian memegang penuh komitmen bersama. Bisa kita lihat di belakang saya, ini adalah hasil kegigihan kalian,” kata Isam lantang diikuti riuh sorak gembira dan tepuk tangan.
“ Kelak jika kita berpijak di tanah ini lagi akan kita dengar  suara gesekan ribuan pohon cemara udang yang membentang saling berapatan. Akan kita dengar kicauan burung. Akan kita dengar juga angin mendesis yang menampar lekuk-lekuk hamparan pasir. Mereka semua akan berbisik pada kita, tentang kisah lenyapnya pantai pasir yang gersang, panas dan kerontang. Yakinlah, kelak mata kita akan teresapkan oleh hutan cemara udang yang rimbun dan rindang. Menyisakan kesejukan di batin. Menyisakan kenangan demi kenangan di saat kita bersama, bahu membahu membangun khazanah alam.”
Suasana mendadak hening. Ratusan pasang mata masih memandangi bibit cemara udang yang berjajar rapi dan bergoyang karena hempasan angin. Goyangan batang – batang muda itu seolah menyoraki gembira dan berucap terimakasih kepada para penanamnya.
“ Semoga ini menjadi amal baik bagi kita semua. Terimakasih rimbawan muda. Rimbawaaaan!!!”
“ Auooooo!!!”
Riuh ramai tepuk tangan kembali membahana. Ada yang kemudian saling berpelukan, melompat kegirangan, berkejar – kejaran, berfoto dengan keanggunan matahari terbenam dan lainnya. Lia sendiri hanya memaku menatap pergerakan matahari yang akan tenggelam. Nuril yang tadinya asyik berfoto dengan beberapa temannya, tiba – tiba tercenung saat melihat Lia yang memilih menyendiri.
“ Ayo foto – foto, Li.” ajak Nuril yang tiba – tiba sudah berdiri di samping Lia. Lia sempat terengah mendengar ajakan itu.
“ Nggak, Ril. Kamu aja...”
Nuril terdiam sesaat. Benaknya menimbang – nimbang sesuatu. Antara saat ini saat yang tepat atau tidak.
“ Lia...” panggil Nuril. Lirih.
Refleks, Lia segera menoleh ke arah Nuril. Ada yang aneh dari gelagatnya, pikir Lia.
“ Aku ingin... Kelak, sepuluh tahun lagi... Aku bisa melihat hutan Casuarina equisetifolia dengan Equisetifolia. Hanya berdua...”
Lia terbungkam. Lidahnya kelu. Dadanya bergemuruh.
“ Dan mungkin tak cuma berdua. Mungkin dengan beberapa anak kecil...” gumam Nuril, masih menatap Lia dengan tatapan teduh.
Lia tersenyum. Setelah itu keduanya ditenggelamkan dengan kecamuk masing – masing. Matahari semakin bergerak cepat ke arah barat. Histeria kekaguman akan keindahan sunset kembali terdengar. Sedangkan Lia dan Nuril tanpa sepengetahuan mereka saling bergenggaman erat, menatap panorama yang ada di hadapannya dengan penuh keharuan.



www.goodfon.su




Kunang-kunang Kidung




Part 1

Langit senja masih temaram kala tubuh letih itu menikmatinya dengan cara yang sangat sederhana. Menatap arak demi arak awan yang selalu saja meninggalkan jejak terindahnya. Dia tersenyum. Indah. Ya, jejak awan yang berarak ke tempat yang berantah itu seperti meninggalkan jejak tersendiri dalam ingatannya. 

Sepintas, arakan awan itu membentuk wajah seorang yang dulu sangat akrab menyambangi hidupnya. Awan itu bak membentuk lekukan wajah yang mengagumkan. Dia tersenyum. Lagi. Tiba – tiba saja, angin membelai lembut tubuhnya. Benaknya tergugah. Senyumnya mendadak berhenti mengembang.

Entah air dari mana yang tiba – tiba saja meleleh dan menetes dari pelupuk matanya. Dan lekukan wajah yang dibentuk oleh awan itu lambat laun memudar, mengurai dan kembali berarak. Padahal dia belum sempat menikmati indahnya. Padahal dia belum sempat memberi ruh pada lekukan awan tadi.

Senja semakin senja. Harum bau tanah bekas hujan siang tadi semakin menyeruak. Semakin senja, semakin letih saja yang dia rasakan.

Letih? Jelas saja. Apa yang diletihkan? Semuanya. Singkatnya mulai letih menjalani hidup. 

Pandangannya beralih pada pohon Trembesi, pohon besar perindang jalan bertajuk payung yang meresapkan mata. Hanya satu pohon Trembesi yang tegak berdiri di sana. Pohon yang tergolong tanaman kehutanan itu seperti menyimpan memori terdalamnya ketika angin menyapa dan mengugurkan helai demi helai daunnya.

Hatinya tercekat. Ada rasa ingin untuk  mengulang memori itu: berlarian kecil mengelilingi si pohon dan kemudian memanjat serta bergelantungan di dahannya. Dan senja telah menyuguhkan memori masa lalu yang sempat menguap oleh waktu. Dia dibuat terkesima dengan babak- babak memori  masa lalu yang diciptakan oleh imajinasinya sendiri.

Gadis berwajah oriental itu menyungging senyum. Menyesakkan dada. Semakin lama semakin deras saja air yang jatuh dari pelupuk matanya.

 ***

Kidung terduduk lesu di bangku taman kota yang cukup asri. Seragam SMA masih melekat di tubuhnya. Kumal. Bau. 

Ya, seharian sudah Kidungberkutat dengan program sekolah untuk mempersiapkan Ujian Nasional. Jelas saja, ujian yang menjadi momok untuk sebagian orang itu harus dipersiapkan dengan baik karena merupakan final dari segala perjalanan sekolahnya selama 3 tahun. Dan Kidung sungguh – sungguh jengah dengan itu semua. Sudah 3 bulan ini, Kidung harus berangkat jam 5 pagi untuk mengikuti les tambahan dan kemudian dilanjutkan jam sekolah yang berakhir di jam 5 sore. Tak berhenti di situ, malamnya Kidung harus mengikuti les di bimbingan belajar ternama di kotanya. Papanya yang menyuruhnya bergabung di bimbingan belajar itu.

“ Kamu anak Papa yang pertama. Jadi, kamu harus sukses. Kamu adalah anak Papa satu - satunya. Papa ingin kamu sukses dan salah satu jalan untuk meraih kesuksesan itu adalah dengan kamu mengikuti les untuk mengembangkan bakat dan kemampuanmu.” terang Papanya suatu waktu. 

Kidung hanya meruntuki kata – kata Papanya. Ingin rasanya Kidung mengelak dan mematahkan argumen ayahnya itu. Toh, ukuran sukses setiap orang berbeda. Dan jalan untuk meraihnya pun juga berbeda.

Jadilah Kidung sore ini. Jengah. Bosan. Mulai lelah.

***

Ini sudah mangkuk es krim kedua yang Kidung lahap di malam itu. Pelayan tua di kedai itu  diam – diam sesekali memalingkan tatapannya dari majalahnya kearah Kidung. Sesekali juga, pelayan tua itu menggeleng lemah.

“ Kau waras nggak sih? Di cuaca sedingin ini, dan sedang hujan deras di luar sana, kau justru betah berada di sini. Menikmati es krimku sampai mangkuk yang entah ke berapa.”

Kidung sempat menoleh ke arah pelayan tua sambil melempar senyum masa bodohnya. Sejenak kemudian pandangannya beralih ke luar jendela. Menikmati butiran hujan yang mengembun dan selanjutnya menetes perlahan. Suatu pemandangan yang meresapkan mata.

“ Sebentar lagi kedai ini akan tutup.” tegas si pelayan tua. Kedengarannya begitu menohok.
Kidung beralih memandang pelayan tua yang mengenakan pakaian serba biru laut itu yang masih asyik membaca majalah –entah apa.

“ Aku mau es krim satu mangkuk lagi.” pinta Kidung. Datar. Suaranya yang serak – serak basah sukses membuat si pelayan tercengang.

--bersambung-- 

sumber: kliping.bangancis.web.id