Cemara Udang, Aku Cinta!
Matanya
masih terpejam. Menikmati karya Illahi yang menakjubkan. Deru angin masih
membelai dahsyat tiap lekuk tubuhnya. Debur ombak masih setia mengiringi alunan
imajinasinya. Dan kala keindahan itu kian menakjubkan dalam imajinasinya, bibir
mungilnya tersungging. Tersenyum mempesona.
Kedua
tangannya dibentangkan ke samping. Membiarkan angin kencang itu leluasa
menyelimuti tubuhnya. Sesekali percikan air laut memerciki tubuhnya, juga
mukanya. Lidahnya sempat terjulur untuk menjilat percikan air yang menempel
tepat di bawah bibirnya. Asin.
“
Pantai ini memang indah... Angin kencang... Ombak Besar...”
Suara
parau itu mendadak menyambanginya. Tapi pun itu tak serta merta membuatnya
lantas tergelitik untuk mengomentarinya. Matanya masih terpejam. Gadis cantik
berwajah oriental itu masih menikmati keanggunan alam yang kini
menghipnotisnya.
Lelaki
sebaya yang kini berdiri di sampingnya itu hanya memandang wajahnya dengan
hangat. Sejenak kemudian, pandangannnya lurus ke depan. Beralih pada gulungan
ombak yang terhempas oleh kencangnya angin.Segaris senyum lantas terkembang di
bibirnya. Menakjubkan.
“
HEI KALIAN!!!”
Keduanya
tersentak bersamaan. Dengan cepat mereka membalikkan badan ke sumber suara.
Sekelompok orang tengah berdiri di atas gumuk pasir dengan tatapan tajam.
Beberapa di antara mereka ada yang berkacak pinggang, mengisyaratkan
kejengkelan.
“
Pacarannya nanti! Sekarang kerja!” teriak lelaki berambut gondrong dengan
toa-nya.
Keduanya
saling bertatapan. Ada isyarat lain dari tatapan itu. Tak lama kemudian keduanya
berlari menghampiri kawan – kawannya yang tengah menunggu mereka di gumuk pasir
yang cukup tinggi.
***
“
Kita harus jalankan target. Ingat, meskipun kita kesini atas nama Fakultas tapi
harus kita camkan bahwa jadikan tugas ini sebagai batu loncatan kita untuk
mengabdi pada masyarakat sesuai dengan salah satu pilar dalam Tri Dharma
Perguruan Tinggi. Mengerti?”
“
Mengerti...” jawab peserta briefing sore itu dengan serempak dan mantap.
Isam,
ketua pelaksana yang saat itu memimpin briefing nampak tersenyum puas melihat
semangat dan antusisme kawan – kawannya.
“
Baiklah, kita akan mulai jalankan misi. Beberapa warga desa Srigading pagi tadi
membantu kita dalam pembuatan lobang penanaman. Hanya saja kurang mencukupi.
Masih ada 200 lobang yang belum terbuat. Jadi, sesuai kesepakatan tim putri
silahkan menanam terlebih dahulu pada lobang – lobang yang sudah ada yaitu dari
utara ke timur,” terang Isam seraya menudingkan telunjuknya ke arah yang
dimaksud.
“
Kita punya 1000 bibit cemara udang. Peserta yang hadir adalah 102 orang. Tiap
orang bisa menanam 10 bibit. Saya optimis, sebelum mentari tenggelam kita akan
mencapai target.”lanjut Isam dengan suara menggebu diikuti sorak sorai tepuk
tangan dari seluruh kawannya. Lagi – lagi, bibirnya mengulum senyum. Ada
keharuan yang membuncah dalam dadanya. Di balik kacamata itu, ada air bening
yang tertahan di pelupuk mata.
“
Rimbawaaan!!!” teriak Isam, kali ini tanpa toa hingga suaranya yang lantang
begitu menggelora di pinggir pantai.
“
AUOOOO!!!” jawab kesemua kawannya dengan penuh semangat sesaat setelah
mendengar clue yang diberikan oleh Isam.
“
RIMBAWAAAAN!!!”
“
AUOOOO!!!”
Isam
mengatupkan bibirnya. Kini, yang sedari tadi tertahan di pelupuk matanya jatuh
seketika. Terhempas terbawa oleh angin yang semakin kencang menderu. Tanpa
komando dari sang ketua, seluruh rekan – rekannya beranjak dari tempatnya
duduk. Mengambil peralatan masing – masing, bibit dan memulai misi mereka untuk
menanam pohon cemara udang di sekitar pantai Samas.
Sore
ini tepat pada pukul 3, para rimbawan muda Bulaksumur –sebutan bagi mahasiswa
Fakultas Kehutanan Universitas Majapahit-
bersatu padu, menyatukan mimpi dan bertekad merealisasikannya melalui
aksi nyata dalam penanaman 1000 cemara udang sebagai langkah penghijauan
pesisir pantai Samas yang akhir – akhir ini diguncang abrasi pantai. Pantai
Samas merupakan salah satu pantai di Yogyakarta yang rawan akan abrasi, ombak
yang sangat besar dan angin yang sangat kencang.
Vegetasi
di pantai ini sangat jarang ditemui. Padahal jika kondisi pantai demikian,
perlu upaya penanaman vegetasi untuk mengurangi resiko abrasi. Dan itulah yang
dilakukan oleh Isam serta kesemua rekan fakultasnya. Menanam bibit cemara udang
setinggi 1,5 meter di areal pesisir pantai yang tidak tergenang atau terlimpas
langsung oleh pasang surut air laut.
Raut
–raut gembira nan ikhlas terlihat meresapkan. Mereka bekerja tak hanya ingin
mengaplikasikan ilmu yang mereka peroleh di bangku kampus. Tapi juga ingin
mendharma baktikan diri untuk banyak orang khususnya masyarakat desa Srigading
yang baru - baru ini harus mengikhlaskan rumah dan penghidupannya dihempas
ombak pantai Samas.
***
Nuril
mencuri pandang ke arah Lia yang saat itu tengah memasukkan bibit ke dalam
lobang tanam. Sesekali kepalanya menunduk dan kemudian tersenyum setelah
menatap penuh kagum wajah gadis itu. Isam yang diam - diam mengamati gerak –
gerik Nuril lantas berjalan menghampirinya.
“
Kenapa kamu? Senyum – senyum mulu dari tadi? Udah nggak waras ya?” cerca Isam
seraya mencangkuli tanah yang akan digunakannya sebagai lobang tanam.
Nuril
tak langsung menjawab. Bibirnya gamang meladeni cercaan Isam.
“
Idih, mukamu memerah... Lagi kasmaran pasti dah. Sama siapa sih? Aku bantu deh
buat eksekusi. Ha-ha-ha...” cerca Isam lagi.
Nuril
yang kesal mendengar cercaan Isam lantas melempar plastik bekas wadah pupuknya
ke muka Isam.
“
Makan tuh plastik. Gangguin aja sih lo! Pergi sono...” gerutu Nuril.
“
Ha-ha. Cieee marah... Oke deh, aku pergi. Selamat mencuri – curi pandang
yee...”
Nuril
dan Isam melirik bersamaan ke arah Lia yang tenggelam dengan kegiatan
penanamannya. Tak lama kemudian Nuril dan Isam saling bertatapan. Meledaklah
tawa kedua lelaki gondrong itu. Isam menepuk – nepuk bahu Nuril sambil
berbisik. Nuril yang mendengar bisikan Isam mendadak terbungkam. Matanya
beralih lagi ke arah Lia. Sejenak kemudian kepalanya mengangguk pelan.
Sore
semakin larut. Cahaya keemasan sang pemilik siang mulai temaram. Menyisakan
siluet senja yang mempesona. Sedangkan para rimbawan Bulaksumur masih bertahan
dalam perjuangan mereka menanam salah satu vegetasi pantai dari suku
Casuarinaceae yang sebagian lebih jumlahnya telah berjajar rapi di pesisir.
Raut – raut mereka masih sama: gembira nan ikhlas. Meneduhkan siapapun yang
memandangnya.
Isam
memandang lurus di hamparan ombak yang masih saja bergulung – gulung seperti
sedang riang berkejar – kejaran. Setiap kali deburannya memeluk daratan,
menyiram legamnya pasir. Pandangannya beralih ke bahu – bahu yang tengah
menunduk bermandikan keringat, menuntaskan kewajiban mereka untuk memasukkan
bibit demi bibit itu ke dalam lobang yang sudah tersedia.
“
Teman – teman, waktu kita masih 10 menit lagi. Tepat sebelum matahari akan
tenggelam. Jangan sia – siakan waktu kalian. Pastikan kita semua bisa menikmati
indahnya sunset di pantai Samas.” ujar Isam lewat toa-nya.
Beberapa
kawannya nampak mengangguk kegirangan mendengar pengumuman dari Isam. Beberapa
nampak terdiam dan saling berbisik karena suara Isam yang kalah dengan suara
debur ombak sehingga mengharuskan mereka untuk bertanya. Beberapa lagi nampak
mulai membereskan peralatannya dan melepas dahaga.
“
Lia, udah selesai belum?”
Suara
itu sukses membuat Lia tergugah dari lamunannya. Kepalanya mendongak ke arah
sosok yang berdiri di sampingnya.
“
Nuril?” lirihnya.
“
Ehm... Udah kok. Udah selesai.”
Nuril
mengambil posisi duduk tepat disamping Lia. Memandang arakan awan yang berpadu
dengan keemasan matahari. Sempurna indahnya.
“
Cemara udang... Casuarina equisetifolia... Salah satu spesies pohon yang
menakjubkan. Dia bisa tumbuh di lahan kritis. Oleh karenanya cemara udang
dijadikan sebagai vegetasi perintis.Pertumbuhan cukup cepat bahkan dapat
merangsang pertumbuhan vegetasi lainnya. Dengan ditanamnya cemara udang
dipercaya cukup mampu menyuburkan tanah. Dia punya bintil akar yang bisa
bersimbiosis dengan bakteri penambat nitrogen. Hmm, luar biasa...”
“
Kedengarannya seperti hand outnya Pak Handoyo, dosen fisiologi kita.”
sela Lia di tengah celotehan Nuril. Nuril hanya tersenyum kecut sambil
menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“
Ha-ha... Ih, si gondrong maluuu...” ledek Lia seraya mencubit lengan Nuril.
Nuril
menelan ludahnya dengan berat. Ada desiran yang menghampiri ketika cubitan itu
mendarat di lengannya. Hatinya bergejolak hebat. Persis seperti apa yang dirasakannya
saat pertama kali bertemu dengan gadis itu.
“
Aku tadi cuma pengen menyamakannya sama seseorang...” kata Nuril dengan suara
bergetar.
Kening
Lia berkerut. “ Maksudnya?”
Nuril
menghela napas, menata hatinya yang meracau. Pandangannya kembali lurus ke
depan.
“
Kamu dan dia punya nama yang sama : Equisetifolia. Jika dia mampu bertahan
hidup di lahan kritis, kamu mampu
bertahan hidup di kondisimu yang sekarang ini—”
“
Kamu—” potong Lia.
“
Kebetulan aku paham dengan kondisimu. Jujur, jika aku jadi kamu mungkin aku
nggak bakal setegar itu. Di saat kamu sendiri butuh kasih sayang, perhatian dan
motivasi dari keluarga yang harmonis, kamu justru dengan begitu tegarnya membagi bahagia dan rasa sayangmu dengan orang lain. Aku
tahu kamu menjadi pengajar di Yayasan Peduli Anak Pasca Gempa ‘kan? Nggak cuma
itu kamu juga menjadi pengajar untuk Anak Berkebutuhan Khusus dan siswa SD.
Kalo
aku jadi kamu sih, ogah banget... Ngapain juga berbuat kayak gitu wong kita aja nggak pernah dapet rasa
sayangnya sendiri dari keluarga. But
you’re very different,” Nuril menghentikan kata – katanya. Menatap Lia yang
sepertinya tertohok mendengar perkataannya. Dengan segenap hati yang tersisa diraihnya
tangan Lia, menggenggamnya begitu erat.
“
Aku nggak bermaksud bikin kamu sedih. Aku cuma ingin menyadarkan bahwa kamu itu
orang yang luar biasa. Jadi jangan pernah merasa sendiri. Jangan pernah merasa
murung. Banyak orang yang sayang sama kamu kok. Apalagi kalo kamu mau membagi
kisahmu itu sama kita... Sama mereka...” terang Nuril seraya mengangkat dagunya
ke arah beberapa kawannya yang tengah bermain air di tepian pantai.
“
Kita akan selalu memahami kondisi siapapun disini.” kata Nuril pada akhirnya.
Tanpa
sepengetahuan Nuril, Lia menitikkan butiran lembut dari pelupuk matanya. Relung
hatinya mendadak lega. Sejak dirinya memasuki bangku perkuliahan, Lia memang
terkenal sebagai sosok yang pendiam di kampusnya. Tapi jika sudah di luar
kampus, Lia selalu memasang tampang ceria. Sungguh berbeda perangainya saat di
dalam dan di luar kampus. Lia hanya melakukan hal itu karena keadaan. Keadaan
dimana dia tak ingin ke seluruh temannya tahu akan kondisi keluarganya yang
jauh dari kata baik. Dan kata – kata Nuril tadi telah mampu menggerakkan alam
bawah sadarnya. Menyadarkan Lia dari tidur panjangnya.
Senyum
terkembang dari bibir Lia. “ Makasih ya,
Ril...” gumam Lia. Nuril mengangguk pelan. Rongga hatinya lega saat melihat
senyuman yang sangat membuainya itu.
“
Li—”
“
Woiii!!! Ayo upacara penutupan! Pacaran mulu deh!”
Teriakan
yang beradu dengan debur ombak itu sontak menyentakkan mereka berdua. Nuril
terpaksa menghentikan kata – katanya. Tak lama, keduanya pun menyusul semua
rekannya yang telah berjajar di tepi pantai.
Isam
yang saat itu berdiri di barisan paling depan dan menghadap ke semua temannya,
segera memulai acara penutupan. Isam sempat mengedarkan pandangannya ke daerah
pesisir yang telah tertanami ribuan cemara udang. Senyum tak henti menghiasi
wajahnya. Pemandangan yang memang menakjubkan.
“
Saya sangat salut kepada kalian. kalian memegang penuh komitmen bersama. Bisa
kita lihat di belakang saya, ini adalah hasil kegigihan kalian,” kata Isam
lantang diikuti riuh sorak gembira dan tepuk tangan.
“
Kelak jika kita berpijak di tanah ini lagi akan kita dengar suara gesekan ribuan pohon cemara udang yang
membentang saling berapatan. Akan kita dengar kicauan burung. Akan kita dengar
juga angin mendesis yang menampar lekuk-lekuk hamparan pasir. Mereka semua akan
berbisik pada kita, tentang kisah lenyapnya pantai pasir yang gersang, panas
dan kerontang. Yakinlah, kelak mata kita akan teresapkan oleh hutan cemara
udang yang rimbun dan rindang. Menyisakan kesejukan di batin. Menyisakan
kenangan demi kenangan di saat kita bersama, bahu membahu membangun khazanah
alam.”
Suasana mendadak hening. Ratusan pasang mata masih memandangi bibit
cemara udang yang berjajar rapi dan bergoyang karena hempasan angin. Goyangan batang
– batang muda itu seolah menyoraki gembira dan berucap terimakasih kepada para
penanamnya.
“ Semoga ini menjadi amal baik bagi kita semua. Terimakasih rimbawan
muda. Rimbawaaaan!!!”
“ Auooooo!!!”
Riuh ramai tepuk tangan kembali membahana. Ada yang kemudian saling
berpelukan, melompat kegirangan, berkejar – kejaran, berfoto dengan keanggunan
matahari terbenam dan lainnya. Lia sendiri hanya memaku menatap pergerakan
matahari yang akan tenggelam. Nuril yang tadinya asyik berfoto dengan beberapa
temannya, tiba – tiba tercenung saat melihat Lia yang memilih menyendiri.
“ Ayo foto – foto, Li.” ajak Nuril yang tiba – tiba sudah berdiri di
samping Lia. Lia sempat terengah mendengar ajakan itu.
“ Nggak, Ril. Kamu aja...”
Nuril terdiam sesaat. Benaknya menimbang – nimbang sesuatu. Antara saat
ini saat yang tepat atau tidak.
“ Lia...” panggil Nuril. Lirih.
Refleks, Lia segera menoleh ke arah Nuril. Ada yang aneh dari gelagatnya, pikir Lia.
“ Aku ingin... Kelak, sepuluh tahun lagi... Aku bisa melihat hutan Casuarina equisetifolia dengan Equisetifolia. Hanya berdua...”
Lia terbungkam. Lidahnya kelu. Dadanya bergemuruh.
“ Dan mungkin tak cuma berdua. Mungkin dengan beberapa anak kecil...”
gumam Nuril, masih menatap Lia dengan tatapan teduh.
Lia tersenyum. Setelah itu keduanya ditenggelamkan dengan kecamuk
masing – masing. Matahari semakin bergerak cepat ke arah barat. Histeria kekaguman
akan keindahan sunset kembali
terdengar. Sedangkan Lia dan Nuril tanpa sepengetahuan mereka saling bergenggaman
erat, menatap panorama yang ada di hadapannya dengan penuh keharuan.