WHAT'S NEW?
Loading...

Kunang-kunang Kidung




Part 1

Langit senja masih temaram kala tubuh letih itu menikmatinya dengan cara yang sangat sederhana. Menatap arak demi arak awan yang selalu saja meninggalkan jejak terindahnya. Dia tersenyum. Indah. Ya, jejak awan yang berarak ke tempat yang berantah itu seperti meninggalkan jejak tersendiri dalam ingatannya. 

Sepintas, arakan awan itu membentuk wajah seorang yang dulu sangat akrab menyambangi hidupnya. Awan itu bak membentuk lekukan wajah yang mengagumkan. Dia tersenyum. Lagi. Tiba – tiba saja, angin membelai lembut tubuhnya. Benaknya tergugah. Senyumnya mendadak berhenti mengembang.

Entah air dari mana yang tiba – tiba saja meleleh dan menetes dari pelupuk matanya. Dan lekukan wajah yang dibentuk oleh awan itu lambat laun memudar, mengurai dan kembali berarak. Padahal dia belum sempat menikmati indahnya. Padahal dia belum sempat memberi ruh pada lekukan awan tadi.

Senja semakin senja. Harum bau tanah bekas hujan siang tadi semakin menyeruak. Semakin senja, semakin letih saja yang dia rasakan.

Letih? Jelas saja. Apa yang diletihkan? Semuanya. Singkatnya mulai letih menjalani hidup. 

Pandangannya beralih pada pohon Trembesi, pohon besar perindang jalan bertajuk payung yang meresapkan mata. Hanya satu pohon Trembesi yang tegak berdiri di sana. Pohon yang tergolong tanaman kehutanan itu seperti menyimpan memori terdalamnya ketika angin menyapa dan mengugurkan helai demi helai daunnya.

Hatinya tercekat. Ada rasa ingin untuk  mengulang memori itu: berlarian kecil mengelilingi si pohon dan kemudian memanjat serta bergelantungan di dahannya. Dan senja telah menyuguhkan memori masa lalu yang sempat menguap oleh waktu. Dia dibuat terkesima dengan babak- babak memori  masa lalu yang diciptakan oleh imajinasinya sendiri.

Gadis berwajah oriental itu menyungging senyum. Menyesakkan dada. Semakin lama semakin deras saja air yang jatuh dari pelupuk matanya.

 ***

Kidung terduduk lesu di bangku taman kota yang cukup asri. Seragam SMA masih melekat di tubuhnya. Kumal. Bau. 

Ya, seharian sudah Kidungberkutat dengan program sekolah untuk mempersiapkan Ujian Nasional. Jelas saja, ujian yang menjadi momok untuk sebagian orang itu harus dipersiapkan dengan baik karena merupakan final dari segala perjalanan sekolahnya selama 3 tahun. Dan Kidung sungguh – sungguh jengah dengan itu semua. Sudah 3 bulan ini, Kidung harus berangkat jam 5 pagi untuk mengikuti les tambahan dan kemudian dilanjutkan jam sekolah yang berakhir di jam 5 sore. Tak berhenti di situ, malamnya Kidung harus mengikuti les di bimbingan belajar ternama di kotanya. Papanya yang menyuruhnya bergabung di bimbingan belajar itu.

“ Kamu anak Papa yang pertama. Jadi, kamu harus sukses. Kamu adalah anak Papa satu - satunya. Papa ingin kamu sukses dan salah satu jalan untuk meraih kesuksesan itu adalah dengan kamu mengikuti les untuk mengembangkan bakat dan kemampuanmu.” terang Papanya suatu waktu. 

Kidung hanya meruntuki kata – kata Papanya. Ingin rasanya Kidung mengelak dan mematahkan argumen ayahnya itu. Toh, ukuran sukses setiap orang berbeda. Dan jalan untuk meraihnya pun juga berbeda.

Jadilah Kidung sore ini. Jengah. Bosan. Mulai lelah.

***

Ini sudah mangkuk es krim kedua yang Kidung lahap di malam itu. Pelayan tua di kedai itu  diam – diam sesekali memalingkan tatapannya dari majalahnya kearah Kidung. Sesekali juga, pelayan tua itu menggeleng lemah.

“ Kau waras nggak sih? Di cuaca sedingin ini, dan sedang hujan deras di luar sana, kau justru betah berada di sini. Menikmati es krimku sampai mangkuk yang entah ke berapa.”

Kidung sempat menoleh ke arah pelayan tua sambil melempar senyum masa bodohnya. Sejenak kemudian pandangannya beralih ke luar jendela. Menikmati butiran hujan yang mengembun dan selanjutnya menetes perlahan. Suatu pemandangan yang meresapkan mata.

“ Sebentar lagi kedai ini akan tutup.” tegas si pelayan tua. Kedengarannya begitu menohok.
Kidung beralih memandang pelayan tua yang mengenakan pakaian serba biru laut itu yang masih asyik membaca majalah –entah apa.

“ Aku mau es krim satu mangkuk lagi.” pinta Kidung. Datar. Suaranya yang serak – serak basah sukses membuat si pelayan tercengang.

--bersambung-- 

sumber: kliping.bangancis.web.id


0 comments:

Post a Comment