Mendadak
tercenung ketika mendapati media online yang memuat hasil reportase antara
seorang wartawan dengan saya beberapa tempo yang lalu.
Doc. Pribadi |
Reportase
ini sudah lama, 3 tahun yang lalu kurang lebihnya. Ya, saat itu saya masih
berseragamkan putih abu – abu. Diceritakan di dalamnya tentang beberapa
pencapaian yang telah saya raih semasa SMA. Eitss,
bukan bermaksud sombong dan menyombongkan lho
yaa… Saya hanya ingin mereviewnya
sejenak di tengah kesibukan kuliah yang sekarang.
Buat
apa mereview?
Nah,
ini persoalannya.
Begini.
Segala pencapaian kita di masa lalu –sekecil apapun itu- bukanlah hal kecil dan
tidak penting di masa sekarang. Mungkin di antara kita, kadang dan bahkan tidak
jarang, melupakan pencapaian – pencapaian kita di masa lalu. Saat ini, kita
menganggap itu sebagai hal yang ‘kecil’.
Pencapaian.
Satu kata yang tentu tidak muluk – muluk. Pencapaian identik dengan sesuatu hal
yang membuat pencapainya bangga, bahagia, merasa berada, pokoknya hal yang
menyenangkan. Pencapaian sangat dekat dengan hasil kerja keras atau upaya yang
gigih. Dan perlu saya garis bawahi di sini, pencapaian adalah hal yang positif.
Mengapa
perlu saya garis bawahi?
Tentu,
setiap orang punya persepsi yang berbeda. Pencapaian menurut seorang penjual
adalah ketika dagangannya laris terjual, sedangkan pencapaian menurut seorang
koruptor adalah ketika mampu korup sana sini tanpa ketahuan, misal. Ini hanya
misal.
Setiap
orang pun juga memiliki tolok ukur berbeda tentang pencapaian. Waktu juga menentukan
tolok ukur pencapaian itu. Sebagai contoh, sewaktu saya masih duduk di bangku
SD, pencapaian besar yang sangat ingin saya capai saat itu adalah meraih juara
I selama 6 tahun berturut – turut. Saat ini, saya telah menjadi seorang
mahasiswa dan target pencapaian saya tentu sudah kompleks, bukan hanya di
akademik melainkan juga tiap lini kehidupan saya.
Memang harus begitu!
Setiap orang harus memiliki
target pencapaian yang harus lebih besar, lebih bermakna dari waktu ke waktu.
Ketika telah mencapai target pencapaian A, lekas bersyukur dan kemudian kejar
target B, C, D dan seterusnya. Seiring waktu, tanpa kita sadari kita telah melewati tangga demi tangga
yang membawa kita ke ‘tempat’ yang lebih tinggi, lebih mulia, lebih berada.
Tapi sayangnya, tak banyak orang
yang ingat dengan perjalanannya melewati tiap tangga itu. Sampai pada suatu
ketika, ketika dia dihadapkan pada suatu kegagalan, dia kehilangan daya. Merasa
hopeless, useless and everything about
down syndrome.
Well, sah – sah saja. Tapi jangan melulu terkungkung. Waktu terus
berjalan, tapi apa kita hanya diam? Diingat lagi pencapaian – pencapaian yang
lalu. Sekali lagi, pencapaian bukan hanya milik orang BESAR. Hargai setiap
pencapaian yang ada. Syukuri dan jangan lekas tinggi hati.
Nah ini problemnya. Terkadang
kita sering alpa diri: menjadi tinggi hati. Plisss, tolong. Pencapaian yang
kamu dapatkan saat ini bukan karena usahamu saja! Orang tuamu, keluarga,
sahabat, bahkan musuh sekalipun telah andil dalam pencapaianmu. Maka apa dengan
tinggi hati pantas menjadi pribadimu? Sekali – kali tidak.
Tinggi hati adalah musuh nyata
bagi orang – orang yang sukses.
So, let it go! Tetap santun,
easy going, humble, dan justru harusnya berbuat baik lebih banyak lagi
sebagai ungkapan rasa syukur.
Oke, disini bukan maksud saya
sebagai seorang yang sok jadi penasihat, sok number one, sok baik, dan
segalanya. Saya menulisnya sebagai bentuk pengingat untuk saya utamanya, dan
pembaca umumnya. Saya menulisnya ketika tersadar, saya hampir melupakan
pencapaian – pencapaian yang lalu. Mungkin kita semua juga hampir melupakannya,
bukan?
Sekali lagi sebagai yang
terakhir, setiap orang pasti punya pencapaian. Sekecil apapun itu hargai
sebagai pengahagaan luar biasa atas keberhasilan kita menapaki tiap tangga
kehidupan. Dan ketika telah mencapai pencapaian itu, segera berbenah diri
karena masih ada hal lain yang harus diusahakan, yang harus dicapai.
0 comments:
Post a Comment