Wajah - wajah dalam Poster
Ini cerita singkat yang dimuat di buletin kampus pada November 2013 lalu.. Saat itu, kampus sedang diguncang isu PEMIRA. Dan memang lagi musim PEMIRA sih.. hehehe. Aku diminta untuk menulis cerita fiktif yang kontennya tentang masalah masalah di PEMIRA seperti golput dan kecurangan lain. Eh, jangan salah... Dunia mahasiswa juga sudah mengenal hal "itu", meenn :D
So, mending langsung dibaca saja ya cerita fiktifku berikut :D
-----------------------------------------------------------------------
Poster
menempel di sana – sini. Baliho – baliho besar tak tanggung – tanggung juga
terpasang di setiap ruas dan sudut kampus. Suatu pemandangan yang tak awam lagi
untuk ditemui setiap tahunnya.
Sebentar
lagi PEMIRA, Pemilihan Raya. Hei, sudah benarkah aku mengakronimkannya? Ah, aku
tak tahu pasti. Yang jelas dan setahuku, PEMIRA adalah salah suatu agenda
tahunan yang tak kalah seru dengan PEMILU. Ya, tapi tetap saja PEMIRA
dilaksanakan hanya sebatas untuk civitas akademika dalam satu universitas
dimana ada beberapa instansi mahasiswa yang menawarkan beberapa calon pemimpin
untuk dipilih dan dijadikan penyalur aspirasi dari seluruh rekan mahasiswanya. Aku mulai pintar rupanya. Dan perlu kau
tahu, di kampusku atmosfer PEMIRA tak kalah seru dengan atmosfer PEMILU.
Sebentar
– sebentar mataku yang minusnya setengah mati ini menatap kabur poster – poster
yang menempel di setiap dinding kampus. Heran. Antara satu poster dengan poster
lain saling menutupi dan bertumpukan. Sejenak bisa kuraba bahwa antusiasme
mahasiswa di kampus tercintaku untuk menjadi partisipan yang nantinya dipilih
dan diberi amanah menjadi seorang yang mampu mendorong suatu perubahan di
kampus sangatlah tinggi.
Saat
ini merupakan masa yang tepat untuk belajar demokrasi dan birokrasi. Dan
kupikir, wajah – wajah beserta deretan visi misi yang terpampang di poster dan
baliho itu merupakan suatu wujud pembelajaran nyata dari para mahasiswa. Ah,
aku malah jadi malu sendiri. Selama belasan tahun aku hanya jadi pemilih.
Sekali waktu aku menerawang anganku sendiri. Bergelut dengan imajinasi; menjadi
salah satu sosok yang dipilih dalam sebuah pemilihan.
Ya,
tentu saja. Pasti akan ada jalan menuju ke sana. Tapi, mungkin tidak sekarang.
Mungkin kelak dan kelak, tak tahu kapan.
Hari
ini, aku memang sengaja berangkat ke kampus lebih awal. Bukan apa – apa, aku
hanya ingin membuka cakrawalaku. Mungkin jika kau disini dan melihatku yang
tengah mendongak-menunduk, membaca tiap baris harapan, serta mengamati betul –
betul pose calon pemimpin, kau akan merasa risih. Dan bisa kutelaah lewat
tatapan risihmu itu, suatu cercaan yang mungkin lebih kurang seperti ini:
“
Sebegitu pentingnya membaca poster demi poster para calon yang notabenenya adalah sesama mahasiswa?
Laporan masih menumpuk, tak ada waktu untuk membaca hal – hal seperti itu.
Daripada baca poster mending baca
master.”
Lalu
dengan rendah hatinya, aku membalas cercaanmu itu dengan senyumku yang
mengembang bangga. Ini bukan soal penting atau tidak penting, melainkan soal pilihan.
Pilihan adalah nurani. Tidak memilih dengan nurani berarti telah mendustai diri
sendiri. Mungkin saat ini, di negeri yang katanya menjunjung demokrasi ini,
memilih adalah suatu hal yang sudah sangat biasa. Perkara memilih pemimpin apa
lagi. Sangat sangat biasa.
Nah,
karena saking biasanya itulah banyak
yang tidak memilih sesuai nurani. Kedustaan melumuri sana sini. Sudah menjadi
hal yang lumrah jika perbuatan kotor turut terlibat hangat. Dan kurasa, PEMIRA
merupakan ajang yang tepat untuk menghargai dan menggunakan nurani dengan sebaik-
baiknya. Tunggu. Tapi itu ‘kan perasaanku saja dan perasaanku sudah tentu
berbeda dengan perasaan orang lain.
Aku
makin tak sabar saja menanti perhelatan akbar itu. Orang demi orang akan
menggunakan hak pilihnya –entah dengan nurani atau belas kasihan. Dan
pemandangan itu bagiku akan terlihat lucu dan menggemaskan. Lucu karena calon
pemilih masih tak paham bagaimana cara memilih dan siapa saja calon
pemimpinnya. Menggemaskan karena masih saja ada orang yang enggan menggunakan
hak pilih dan nuraninya. Memang tak ada yang melarang, tapi itu suatu perbuatan
yang mubadzir. Menghambur – hamburkan suara. Benar?
Dan
pagi semakin syahdu saat angin lembut menyapa. Menyapu dedaunan kering di
sekitarku. Mataku masih tak ingin lepas dari puluhan poster yang menempel di
dinding kampus. Rupanya, Tuhan telah mengirimkan banyak anak cucu adam yang
berjiwa pemimpin dan berdaya juang tinggi seperti wajah – wajah dalam poster
itu. Senyumku mengembang lagi, semoga para calon pemimpin itu memang sosok yang
kehadirannya selalu dinantikan oleh rekan – rekannya dalam membersamai
perubahan.