WHAT'S NEW?
Loading...

Merindu Langit Biru





Kuanggap ini sebuah rindu
Yang terasa ngilu pada hati yang pilu
Kerinduanku seolah meretas
Tapi inginku mengepak kecil seolah hanya cerita yang belum mentas
Kemudian sebuah tanya menyembul besar dari kepalanya yang tak cukup besar
“Adakah rindumu ini siluet kelabu sesaat?”
Aku tersenyum menahan gigil
“ Ini soal rindu pada Sang Pencipta. Soal rinduku jelas bukan hanya siluet. Tapi aku sendiri enggan menuntaskan rindu ini. ”



Jogjakarta, 28 Maret 2014

Wajah - wajah dalam Poster



Ini cerita singkat yang dimuat di buletin kampus pada November 2013 lalu.. Saat itu, kampus sedang diguncang isu PEMIRA. Dan memang lagi musim PEMIRA sih.. hehehe.  Aku diminta untuk menulis cerita fiktif yang kontennya tentang masalah masalah di PEMIRA seperti golput dan kecurangan lain. Eh, jangan salah... Dunia mahasiswa juga sudah mengenal hal "itu", meenn :D
So, mending langsung dibaca saja ya cerita fiktifku berikut :D
-----------------------------------------------------------------------

Poster menempel di sana – sini. Baliho – baliho besar tak tanggung – tanggung juga terpasang di setiap ruas dan sudut kampus. Suatu pemandangan yang tak awam lagi untuk ditemui setiap tahunnya.
Sebentar lagi PEMIRA, Pemilihan Raya. Hei, sudah benarkah aku mengakronimkannya? Ah, aku tak tahu pasti. Yang jelas dan setahuku, PEMIRA adalah salah suatu agenda tahunan yang tak kalah seru dengan PEMILU. Ya, tapi tetap saja PEMIRA dilaksanakan hanya sebatas untuk civitas akademika dalam satu universitas dimana ada beberapa instansi mahasiswa yang menawarkan beberapa calon pemimpin untuk dipilih dan dijadikan penyalur aspirasi dari seluruh rekan mahasiswanya. Aku mulai pintar rupanya. Dan perlu kau tahu, di kampusku atmosfer PEMIRA tak kalah seru dengan atmosfer PEMILU.
Sebentar – sebentar mataku yang minusnya setengah mati ini menatap kabur poster – poster yang menempel di setiap dinding kampus. Heran. Antara satu poster dengan poster lain saling menutupi dan bertumpukan. Sejenak bisa kuraba bahwa antusiasme mahasiswa di kampus tercintaku untuk menjadi partisipan yang nantinya dipilih dan diberi amanah menjadi seorang yang mampu mendorong suatu perubahan di kampus sangatlah tinggi.
Saat ini merupakan masa yang tepat untuk belajar demokrasi dan birokrasi. Dan kupikir, wajah – wajah beserta deretan visi misi yang terpampang di poster dan baliho itu merupakan suatu wujud pembelajaran nyata dari para mahasiswa. Ah, aku malah jadi malu sendiri. Selama belasan tahun aku hanya jadi pemilih. Sekali waktu aku menerawang anganku sendiri. Bergelut dengan imajinasi; menjadi salah satu sosok yang dipilih dalam sebuah pemilihan.
Ya, tentu saja. Pasti akan ada jalan menuju ke sana. Tapi, mungkin tidak sekarang. Mungkin kelak dan kelak, tak tahu kapan.
Hari ini, aku memang sengaja berangkat ke kampus lebih awal. Bukan apa – apa, aku hanya ingin membuka cakrawalaku. Mungkin jika kau disini dan melihatku yang tengah mendongak-menunduk, membaca tiap baris harapan, serta mengamati betul – betul pose calon pemimpin, kau akan merasa risih. Dan bisa kutelaah lewat tatapan risihmu itu, suatu cercaan yang mungkin lebih kurang seperti ini:
“ Sebegitu pentingnya membaca poster demi poster para calon yang notabenenya adalah sesama mahasiswa? Laporan masih menumpuk, tak ada waktu untuk membaca hal – hal seperti itu. Daripada baca poster mending baca master.”
Lalu dengan rendah hatinya, aku membalas cercaanmu itu dengan senyumku yang mengembang bangga. Ini bukan soal penting atau tidak penting, melainkan soal pilihan. Pilihan adalah nurani. Tidak memilih dengan nurani berarti telah mendustai diri sendiri. Mungkin saat ini, di negeri yang katanya menjunjung demokrasi ini, memilih adalah suatu hal yang sudah sangat biasa. Perkara memilih pemimpin apa lagi. Sangat sangat biasa.
Nah, karena saking biasanya itulah banyak yang tidak memilih sesuai nurani. Kedustaan melumuri sana sini. Sudah menjadi hal yang lumrah jika perbuatan kotor turut terlibat hangat. Dan kurasa, PEMIRA merupakan ajang yang tepat untuk menghargai dan menggunakan nurani dengan sebaik- baiknya. Tunggu. Tapi itu ‘kan perasaanku saja dan perasaanku sudah tentu berbeda dengan perasaan orang lain.
Aku makin tak sabar saja menanti perhelatan akbar itu. Orang demi orang akan menggunakan hak pilihnya –entah dengan nurani atau belas kasihan. Dan pemandangan itu bagiku akan terlihat lucu dan menggemaskan. Lucu karena calon pemilih masih tak paham bagaimana cara memilih dan siapa saja calon pemimpinnya. Menggemaskan karena masih saja ada orang yang enggan menggunakan hak pilih dan nuraninya. Memang tak ada yang melarang, tapi itu suatu perbuatan yang mubadzir. Menghambur – hamburkan suara. Benar?
Dan pagi semakin syahdu saat angin lembut menyapa. Menyapu dedaunan kering di sekitarku. Mataku masih tak ingin lepas dari puluhan poster yang menempel di dinding kampus. Rupanya, Tuhan telah mengirimkan banyak anak cucu adam yang berjiwa pemimpin dan berdaya juang tinggi seperti wajah – wajah dalam poster itu. Senyumku mengembang lagi, semoga para calon pemimpin itu memang sosok yang kehadirannya selalu dinantikan oleh rekan – rekannya dalam membersamai perubahan.