Oh Allah,
Mereka, yang kini berada di ujung harapan hidup
dan mati. Seakan mendobrak ulu hatiku untuk tersadar akan artinya hidup. Untuk
tersadar akan makna waktu yang terus berjalan. Mereka, yang kini bergelimpangan,
berlumuran darah. Segar. Seakan mencaciku, “Apa yang kau perbuat semasa hidup
tak sebanding dengan apa yang telah kami perjuangkan untuk hidup.”
Oh Allah, mungkin keegoan dalam pikirku yang tak
berujung yang membuatku kian congkak di hadapanMu. Tak mampu memaknai hidup
seutuhnya.
Sedang mereka dalam keterjepitan minta
diselamatkan, minta dilindungi. Ngilu hati ini melihat ribuan pasang mata kuyu
anak – anak dan pemuda yang meronta tiada habisnya karena ditodong oleh serdadu
bersenjata. Oh Allah, mengapa harus mereka? Mengapa harus anak – anak dan
pemuda yang mereka habisi?
Mereka, hampir sebagian dari mereka yang
terbunuh, adalah sebayaku. Wahai kamu, pemuda pemudi tangguh, maafkan aku yang
hanya bisa terpaku ini. Maafkan aku atas dosaku yang tak mampu menjadi kawan
baikmu. Aku tahu, di saat kalian berjuang menghadapi para Zionis, disaat kalian
melindungi keluarga dan sesama, aku justru hanya mengurai gelak tawa. Merasa
hidup ini sempurna. Tanpa pernah mengerti bagaimana kalian mempertaruhkan nyawa
di tengah himpitan hidup.
Maafkan aku, yang mungkin ketika kalian
kelaparan, aku justru sering membuang makanan dengan riangnya. Aku masih belum
paham bagaimana itu lapar dan bagaimana itu menahan rasa lapar di tengah
perjuangan panjang melawan kematian. Maafkan aku, pemuda Palestina.
Maafkan aku, lagi dan lagi, yang mungkin hanya
mempergunakan malamku untuk hal – hal yang penuh kemubadziran. Ya, aku paham. Shopping,
clubbing, adalah gaya hidupku. Maafkan aku, aku sangat tidak paham
bagaimana itu tidur penuh diliputi rasa ketakutan. Oh, Allah.. Bahkan mungkin
kalian tak pernah tidur, karena justru saat malam itulah waktu kalian
mendekatkan diri pada Sang Rabbi. Atau justru memperkuat pertahanan barisan
berani matimu untuk melawan mereka yang tak bisa diprediksi kedatangannya.
Maafkan aku.
Maafkan aku, lagi. Sekali lagi… Atas kemampuanku
yang terbatas. Yang hanya bisa mengucap ‘Pray For Gaza’ dan menulis komentar di
banyak media sosial. Aku tahu, aku tahu. Itu bukan yang kalian harapkan. Itu
bukan solusi. Bagaimana lagi, aku belum bisa melakukan lebih jauh dari ini.
Memberikan donasi uang untuk kalian? Maaf, kami juga masih mengemis pada orang
tua. Menyumbangkan baju bekas? Maaf lagi, itu sudah aku rencakan untuk di jual
di garage sale. Menjadi relawan? Apalagi, maaf beribu maaf… Aku sangat
tak mampu. Aku belum siap mati. Aku sangat takut mati. Belum ada persiapan
untukku menghadapNya. Maafkan aku…
Wahai kamu, kalian pemuda di jalur Gaza. Aku
tahu, perjuangan masih belum usai sampai detik ini, bahkan esok hari. Sedihnya,
yang kudengar para ulama Palestina telah berikrar bahwa tragedi
kemanusiaan yang terjadi di negerimu tak akan berakhir hingga akhir jaman. Tapi
kalian akan terus berjuang ‘kan? Sungguh, kini hampir kumengerti apa itu
perjuangan.
Wahai kamu, kalian para syuhada. Tiada yang mampu
kulakukan lebih banyak lagi, kecuali berdoa. Allah punya syurga terindah
untukmu, untuk kalian. Dan aku akan senantiasakan menyelipkan doa itu untukmu,
untuk kalian. Sekali lagi, untuk yang terakhir, maafkan aku. Masih banyak yang
harus aku sampaikan penyesalan ini. Masih sangat banyak, harusnya.
Jogjakarta, di tempat yang dingin
10 Juli 2014
0 comments:
Post a Comment